1. Bidar
Setiap HUT RI pada tanggal 17 Agustus, bantaran Sungai Musi dipenuhi orang. Ada Lomba Perahu Bidar, festival terbesar di Palembang yang meriah dan punya sejarah panjang.
Ada satu alasan wisatawan berkunjung ke Kota Palembang, Sumatera Selatan,
pada Hari Kemerdekaan RI. Setiap tahun, digelar Lomba Perahu Bidar yang
berlokasi di Sungai Musi. Ada kisah di balik digelarnya lomba perahu yang khas
ini.
Mengutip situs E-Palembang, Kamis (7/2/2013), zaman dahulu Palembang
dikelilingi 108 anak sungai dengan Musi sebagai sungai utamanya. Agar seluruh
anak sungai terpantau keamanannya, Kesultanan Palembang membentuk patroli
sungai. Perahu panjang yang mereka gunakan bernama Pancalang.
Pancalang artinya perahu layar tercepat. Kapal ini, berdasarkan para ahli
sejarah, adalah asal mula perahu bidar. Untuk mengingat eksistensi perahu ini,
digelarlah Lomba Perahu Bidar mulai masa Kesultanan Darussalam hingga sekarang.
Warga lokal menyebut lomba ini sebagai 'kenceran'.
Pancalang berubah fungsi sesuai zaman. Selain sebagai perahu patroli,
pancalang juga menjadi alat transportasi air bagi warga Palembang. Perahu ini
juga digunakan untuk berjualan di atas sungai. Di bagian atas perahu ada kerai
yang bisa ditutup, dan tongkat bambu sebagai dayungnya.
Sekarang, perahu bidar punya bentuk yang lain dari pancalang. Bidar punya 2
tipe bentuk. Pertama, perahu asli dengan panjang 12,7 meter, lebar 1,3 meter,
dan tinggi 60 cm. Kapal bidar ini butuh 22 orang pendayung. Tipe ini biasanya
digunakan saat HUT Kota Palembang tiap tanggal 17 Juni.
Tipe kedua adalah perahu bidar tradisional. Panjangnya tak
tanggung-tanggung, 29 meter dengan lebar 1,5 meter dan tinggi 80 cm. Perahu
bidar tradisional butuh 55 orang pendayung. Perahu tipe inilah yang bisa
dilihat wisatawan saat perayaan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
Dokumentasi sejarah terkait Lomba Perahu Bidar adalah tahun 1898, saat
perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Oleh karena itu, banyak traveler yang
melihat Lomba Perahu Bidar sebagai tradisi bawaan kolonial Belanda. Namun
mayoritas wisatawan memandang lomba meriah ini sebagai warisan sejarah di Kota
Palembang.
Kalau tertarik dengan Lomba Perahu Bidar, tak ada salahnya merencanakan
perjalanan ke Kota Palembang bulan Agustus mendatang. Wisatawan juga bisa
menyaksikan lomba dekorasi perahu dan kompetisi berenang di Sungai Musi.
Peserta lomba-lomba ini, termasuk Lomba Perahu Bidar, bisa laki-laki dan
perempuan!
Sumber :
http://travel.detik.com/read/2013/02/07/152458/2163978/1383/inilah-festival-paling-meriah-di-palembang
2. Ceng Beng
Setiap tanggal 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Ceng Beng
(Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan
beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk
melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan
dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas
sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua.
Menurut Chandra Husin, ketua panitia pelaksana Ceng Beng di Pemakaman Talang
Kirikil dan Soak Palembang, sejarah Ceng Beng dimulai sejak dulu kala dan sulit
dilacak kapan dimulainya. “Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan
suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda
berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas,” ujarnya.
Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana Ceng Beng itu yaitu:
“Sehari sebelum Ceng Beng tidak ada api” atau yang sering disebut Hanshijie.
Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di
gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir
dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada hari
tewasnya Jie Zitui. “Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga
disebut perayaan makanan dingin,” ujarnya.
Ceng Beng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi.
Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan
awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak jaman dahulu hari Ceng
Beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur.
Pada dinasti Tang, hari Ceng Beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para
pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan
mengimplementasikannya berupa membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan
lain-lain.
Di dinasti Tang ini, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan
sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas
pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.Yang hilang adalah menggantung
lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas
kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis
telur dan mengukir kulit telur.
Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng Beng karena selain cuaca
yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain
layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie
Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.
Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung
walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut
burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas
panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti
Ming.
Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu
Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya.
Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh
kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia
mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia
menemukannya.
Kenapa pada hari Ceng Beng itu harus membersihkan kuburan?
Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya
akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di
semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga.Dikarenakan saat itu
cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk
membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang
yang merantau itu ketika pulang pada saat Ceng Beng, orang itu akan mengambil
tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba
lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas
kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya. (sep)
Sumber :
http://www.radar-palembang.com/asal-mula-perayaan-ceng-beng/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar